Hadits SHAHIH Tentang Menggerakkan Telunjuk Saat Tahiyyat (Tasyahhud )

Prolog dari saya :
Pembaca yang saya hormati, sebelum anda membaca risalah ini, maka sebaiknya anda fahami dulu bahwa ini adalah masalah khilaf di kalangan para ulama, jadi dalam memahaminya, memegangnya janganlah menjadikan kita berlebihan, apalagi sampai meributkannya.
berikut ini adalah bantahan dari al-ustadz Abdul Hakim Bin Amir Abdat untuk yang mendhoifkan hadits dalam hal masalah menggerakkan jari telunjuk dalam tasyahhud, silahkan anda baca, semoga menjadi tambahan wawasan beragama kita . amin

(Judul Asli: Masalah ke-29: Takhrij Ilmiyyah Dari Hadits Waail Bin Hujr Tentang Menggerak-gerakkan Jari Telunjuk Diwaktu   Tahiyyat/Tasyahhud dan Bantahan Terhadap Mereka Yang Mendha’ifkannya / Melemahkannya Dengan Dasar Ilmiyyah Mengikuti Musthalah Ahlul Atsar/Hadits)
Dari Zaaidah bin Qudamah dari ‘Aashim bin Kulaib, ia berkata, “Telah mengabarkan kepadaku bapakku (yaitu Kulaib bin Syihaab) dari Waail bin Hujr –semoga Allah Meridhainya- ia berkata, ‘Aku berkata (yakni di dalam hati): Sungguh! Betul-betul aku akan melihat/memperhatikan bagaimana caranya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mendirikan shalat?’
Berkata Waail, ‘Maka aku melihat beliau berdiri (menghadap ke kiblat) kemudian bertakbir sambil mengangkat kedua tangannya sehingga setentang dengan kedua telinganya. Kemudian beliau meletakkan kedua tangan kanannya di atas punggung telapak tangan kirinya dan di atas pergelangan dan lengan.’
Berkata Waail,’Ketika beliau hendak ruku’ beliau pun mengangkat kedua tangannya seperti di atas, kemudian beliau meletakkan kedua tangannya di atas kedua lututnya. Kemudian beliau mengangkat kepalanya (yakni I’tidal) sambil mengangkat kedua tangannya seperti di atas. Kemudian beliau sujud dan beliau letakkan kedua telapak tangannya setentang dengan kedua telinganya. Kemudian beliau duduk (duduk di sini dzahirnya duduk tahiyyat/tasyahhud bukan duduk di antara dua sujud karena Waail atau sebagian dari rawi meringkas hadits ini) lalu beliau menghamparkan kaki kirinya dan beliau letakkan telapak tangan kirinya di atas paha dan lutut kirinya dan beliau jadikan batas sikut kanannya di atas paha kanannya, kemudian beliau membuat satu lingkaran (dengan kedua jarinya yaitu jari tengah dan ibu jarinya), kemudian beliau mengangkat jari (telunjuk)nya, maka aku melihat beliau menggerak-gerakkannya beliau berdo’a dengannya’
(Berkata Waail), ‘Kemudian, sesudah itu aku datang lagi pada musim dingin, maka aku lihat manusia (para sahabat ketika mendirikan shalat bersama nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam) mereka menggerakkan tangan-tangan mereka dari dalam pakaian mereka lantaran sangat dingin (yakni mereka mengangkat kedua tangan mereka ketika takbir berdiri dan ruku’ dan seterusnya dari dalam pakaian mereka karena udara sangat dingin)’.
HADITS SHAHIH, dikeluarkan oleh imam-imam: Ahmad bin Hambal di musnadnya (4/318 ), Abu Dawud (No. 727 dengan ringkas), Nasa’I (No. 889 -hadits di atas adalah lafadz Nasa’i- 1268), Ad Dariimi di sunannya (1/314-315), Ibnul Jarud di kitabnya Al-Muntaqa’ (No. 208), Ibnu Khuzaimah (No. 480 dan 714) dan Ibnu Hibban (No. 485), semuanya dari jalan Zaaidah bin Qudamah seperti di atas.
Saya berkata: Sanad hadits ini shahih dan rawi-rawinya tsiqat dan hadits ini telah dishahihkan oleh jama’ah ahli hadits di antaranya Imam Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, An-Nawawi, Ibnul Qayyim, dan ahli hadits besar pada zaman ini Syaikh Al-Albani dan lain-lain.
Sepanjang yang saya ketahui –wallahu a’lam- tidak ada seorang pun dari ahli hadits baik yang dahulu maupun yang sekarang yang melemahkan hadits Waail di atas kecuali tiga golongan:
Pertama          : Mereka yang masih ‘pemula’ dalam ilmu yang mulia ini. Yang biasanya sering mendha’ifkan hadits yang shahih atau  sebaliknya atau menjarh rwi yang tsiqat atau sebaliknya. Mereka yang merasa sudah cukup mampu untuk urusan takhrij dan tashhih atau tadl’if sesuatu hadits hanya dengan satu atau dua kitab musthalah!
Kedua             : Mereka yang ta’ashshub madzhabiyyah.
Ketiga             : Ahli ilmu yang keliru dalam ijtihadnya karena telah menyimpang dan keluar dari kaidah-kaidah ilmu hadits yang telah   disepakati oleh para ulama.
Dan saya sangat mengharapkan bahwa Nadwah Mudzakarahnya majalah Al Muslimun termasuk dalam golongan yang ketiga ini meskipun dalam masalah ini mereka telah keliru berat sebagaimana akan datang bantahan saya terhadap mereka. (Bantahan tersebut telah dimuat di Al muslimun nomor 238 tahun 1990).
Oleh karena itu apabila kita melihat dengan insaf menurut ilmu hadits, maka tidak dapat tidak kita akan menshahihkan hadits Waail tersebut karena beberapa sebab:
Sebab pertama:       Hadits Waail bin Hujr yang diriwayatkan dari jalan ‘Aashim bin kulaib dari bapaknya dari Waail bin Hujr mempunyai jalan/thuruqul hadits yang banyak sekali dari jalan ‘Aashim bin kulaib.
Sampai hari ini saya telah mendapatkan empat belas (14) orang rawi yang meriwayatkan dari ‘Aashim bin kulaib, yaitu:
1.      Bisyr bin Mufadldlal.
2.      Zaaidah bin Qudaamah.
3.      Sufyan Ats Tsauri.
4.      Sufyan bin ‘Uyaynah.
5.      Syu’bah.
6.      Abdullah bin Idris
7.      Zuhair bin Mu’awiyah
8.      Syarik bin Abdullah
9.      Israil
10.  Sallaam bin Sulaim
11.  Abdul Wahid
12.  Ibnu Fudlail
13.  Abdul Jabbar bin ‘Alaa
14.  Said bin Abdurrahman.
Semua riwayat di atas dari empat belas (14) jalan telah saya takhrij dan saya turunkan satu persatunya dalam takhrij ilmiyyah saya terhadap kitab Sunan Abi Dawud (No. 726 dan seterusnya). Yang jadi pembicaraan kita dalam masalah ini (yakni hadits yuharriku) ialah riwayat Zaaidah bin Qudaamah yang dalam riwayat ini ada tambahan lafadz yang tidak terdapat di dalam riwayat-riwayat yang lain yaitu yuharrikuha.
Sebab kedua: Keshahihan riwayat Zaaidah dari ‘Aashim dari bapaknya dari Waail bin Hujr sebagaimana telah kami jelaskan di muka dan di bawah ini lebih rinci lagi:
1.                    Zaaidah bin Qudaamah adalah seorang rawi yang tsiqat dan tsabit dan shahibu sunnah sebagaimana telah dikatakan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar di Taqrib­-nya.
Dalam hal ini para imam telah ijma’ tentang ‘sangat tsiqat-nya’ Zaaidah bin Qudaamah bahkan beliau seorang rawi yang paling tsabit dalam mendengar hadits dari syaikhnya. Lebih dari itu, beliau adalah salah seorang imam-imam Ahlus sunnah wal jama’ah sehingga beliau dijuluki Shahibu Sunnah [7]
2.                    Adapun ‘Aashim bin Kulaib bin Syihab seorang rawi yang tsiqat sebagaimana akan datan penjelasannya dengan luas dalam bantahan kami terhadap Nadwah Mudzakarahnya majalah Al Muslimun yang telah mendla’ifkan hadits yuharrikuha hanya karena penyendirian ‘Aashim!?
3.                    Sedangkan Kulaib bin Syihab dari bapak dari ‘Ashim adalah seorang rawi yang tsiqat sebagaimana telah dikatakan oleh Imam Abu Zur’ah.
Berkata Ibnu Sa’ad, “Dia seorang yang tsiqat dan aku melihat mereka (para imam) membaguskan haditsnya dan mereka berhujjah dengannya” (Tahdzibut Tahdzib 8/445-446).
Sekarang pembaca yang saya hormati akan mngikuti pembicaraan secara khusus tentang ketsiqatan ‘Ashim bin Kulaib yang pernah dimuat di majalah Al Muslimun (No. 238 tahun 1990)
-Silakan rujuk ke kitab Al-Masaa-il (II/51-78) – Masalah 30 dan 31 oleh Al Ustadz Hakim-

0 komentar:

Posting Komentar

Mau Koment Silahkan...